Krisis perbankan di Indonesia yang dimulai akhir tahun 1997 bukan semata-mata diakibatkan oleh krisis ekonomi, tetapi juga diakibatkan oleh belum dilaksanakannya Good Corporate Governancedan etika yang melandasinya. Oleh karena itu, usaha mengembalikan kepercayaan kepada dunia perbankan Indonesia melalui restrukturisasi dan rekapitalisasi hanya dapat mempunyai dampak jangka panjang dan mendasar apabila disertai tiga tindakan penting lain yaitu : (1) Ketaatan terhadap prinsip kehati-hatian; (2) Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG); (3) Pengawasan yang efektif dari Otoritas Pengawas Bank.
Pelaksanaan Good
Corporate Governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun
kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia
perbankan untuk berkembang dengan baik dan sehat.
PENDAHULUAN
Pelaksanaan Good
Corporate Governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun
kepercayaan masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia
perbankan untuk berkembang dengan baik dan sehat.
Oleh karena itu Bank for
International Sattlement (BIS) sebagai lembaga yang mengkaji terus
menerus prinsip kehati-hatian yang harus dianut oleh perbankan, telah pula
mengeluarkan Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG)
bagi dunia perbankan secara internasional. Pedoman serupa dikeluarkan pula oleh
lembaga-lembaga internasional lainnya.
Di Indonesia terdapat beberapa
peraturan yang telah dikeluarkan berkaitan dengan penerapan prinsip Good
Corporate Governance (GCG) antara lain peraturan Bank Indonesia No.
8/4/PBI/2006 yang disempurnakan dengan peraturan Bank Indonesia No.
8/14/PBI/2006 tentang “Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi
Bank Umum”, yang menunjukkan keseriusan Bank Indonesia dalam meminta pengurus
perbankan agar taat untuk menerapkan manajemen risiko guna melindungi
kepentingan para pemangku kepentingan (stakeholder). Banyaknya
ketentuan yang mengatur sektor perbankan dalam rangka melindungi kepentingan
masyarakat menjadikan sektor perbankan sebagai sektor yang ”highly regulated”.
Menurut OECD corporate
governance adalah sistem yang dipergunakan untuk mengarahkan dan
mengendalikan kegiatan bisnis perusahaan. Corporate governance yang
mengatur pembagian tugas, hak dan kewajiban mereka yang berkepentingan terhadap
kehidupan perusahaan, termasuk pemegang saham, Dewan Pengurus, para manajer,
dan semua anggotastakeholders non-pemegang saham. Dengan pembagian
tugas, hak, dan kewajiban serta ketentuan dan prosedur pengambilan keputusan
penting, maka perusahaan mempunyai pegangan bagaimana menentukan sasaran usaha
(corporate objectives) dan strategi untuk mencapai sasaran tersebut.
Kebutuhan untuk menerapkan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) dirasakan
sangat kuat dalam industri perbankan. Situasi eksternal dan internal perbankan
semakin kompleks. Risiko kegiatan usaha perbankan kian beragam. Keadaan
tersebut semakin meningkatkan kebutuhan akan praktik tata kelola perusahaan
yang sehat (good corporate governance) di bidang perbankan.
Pelaksanaan Good Corporate
Governance (GCG) sangat diperlukan untuk membangun kepercayaan
masyarakat dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan
untuk berkembang dengan baik dan sehat. Oleh karena itu Bank for
International Sattlement(BIS) sebagai lembaga yang mengkaji terus menerus
prinsip kehati-hatian yang harus dianut oleh perbankan, telah pula mengeluarkan
Pedoman Pelaksanaan Good Corporate Governance(GCG) bagi dunia perbankan
secara internasional. Pedoman serupa dikeluarkan pula oleh lembaga-lembaga
internasional lainnya.
Permasalahan yang terjadi Pada
sektor Perbankan diantaranya adalah
Kebobolan kredit fiktif miliaran
rupiah. Hal ini bermula dari pengajuan kredit terkait suatu proyek oleh sebuah
CV sebesar Rp 9,4 miliar. Namun yang disetujui hanya Rp 4,8 miliar dan dalam
proses pembayarannya mengalami kemacetan, kredit macetnya sebesar Rp 3,4
miliar. Belakangan diketahui bahwa surat perintah kerja terkait kredit tersebut
ternyata dipalsukan. Nilai proyeknya pun sangat jauh lebih kecil dibandingkan
dengan pengajuan kreditnya, yakni hanya Rp 92 juta. (Sumber : www.kilasberita.com,
22 Juli 2008).
Baru-baru ini Komite
Pemberantasan Korupsi menemukan kasus aliran uang setoran (fee) di Bank
Jabar Banten sebesar Rp 148 miliar ke sejumlah pejabat. Kasus ini mirip dengan
kasus Bank Century terutama dalam hal pemberian fee kepada
sejumlah pejabat. (Sumber : Harian Ekonomi Neraca, 21 Januari 2010 dan
Indonesia Monitor, 19 januari 2010).
Korupsi dilakukan mantan Direktur
Utama salah satu Bank. Terdakwa dianggap secara sah dan menyakinkan terbukti
bersalah merugikan negara sebesar Rp 51 miliar. Salah satu perbuatannya ialah
meminta pimpinan bank anak cabang menyetorkan dana untuk komisi dari modal
tetapi tanpa bukti administrasi berupa penerimaan. Perbuatan ini dinilai hakim
melawan hukum formil, yakni undang-undang dan perbuatan tercela melawan hukum
secara materi. (Sumber : www.liputan6.com. 9 April 2010).
Dari beberapa permasalahan
tersebut menunjukan bahwa masih lemahnya pengelolaan risiko dan penerapan
prinsip-prinsip Good Corporate Governance (GCG) di lingkungan
Perbankan. . Permasalahan tersebut bisa menurunkan tingkat kepercayaan nasabah,
berpengaruh pada harga saham dan juga pada kepercayaan mitra untuk melakukan
transaksi bisnis. Karena tidak dapat dipungkiri bahwa nama baik perusahaan
merupakan salah satu aset yang paling berharga, terlebih lagi untuk industri
perbankan yang dasarnya adalah kepercayaan antara penyimpan dana dan penghimpun
dana.
Menurut Muchayat dalam artikelnya
“Manajemen Risiko dalam Kerangka Corporate Governance”, ada beberapa alasan
bahwa di masa datang manajemen risiko akan semakin berkembang. Pertama,
adanya Good Corporate Governance (GCG). Skandal akuntansi yang
menimpa Enron dan Wordcom, justru terjadi pada manajemen puncak yang seharusnya
melakukan pengawasan agar skandal tersebt tidak terjadi. Pasar secara reaktif
menghukum perusahaan yang lalai terhadap pengawasan dan pelaksanaan Good
Corporate Governance (GCG).
Kedua, perkembangan teknologi.
Khususnya, teknologi informasi (TI) akan meningkatkan peran pengukuran dan
pengelolaan risiko. Pemanfaatan TI secara maksimal juga dapat membantu
pengawasan dalam menekan terjadinya risiko.
Ketiga, peraturan atau kebijakan
pengelolaan risiko. Praktik-praktik pengukuran dan pengelolaan risiko modern
termasuk kemampuan untuk melakukan sekuritasi aset terus meningkat, misalnya
dengan terbitnya Basel Accord II (sumber : Harian Bisnis Indonesia, 21 Maret
2007)
Good Corporate Governance (GCG) menurut Forum for Corporate Governance in Indonesia (FCGI)
yaitu : “Seperangkat peraturan yang menetapkan hubungan antara pemegang saham,
pengurus, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta para pemegang kepentingan
intern dan ekstern lainnya sehubungan dengan kata hak-hak dan kewajiban mereka
atau dengan kata lain sistem yang mengarah dan mengendalikan perusahaan.”
Organisasi wajib menerapkan
praktik Good Corporate Governance (GCG). Hal ini diperkuat
dengan diterbitkannya pedoman umum Good Corporate Governance (GCG)
oleh Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKG) yang
mewajibkan setiap organisasi yang sahamnya telah tercatat di bursa efek,
perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan yang menghimpun dan mengelola
dana masyarakat, dan perusahaan-perusahaan yang produk atau jasanya digunakan
oleh masyarakat luas, serta perusahaan yang mempunyai dampak luas terhadap lingkungan
untuk menerapkan praktik Good Corporate Governance (GCG).
Selain itu, Komite Nasional
Kebijakan Governance (KNKG) menerbitkan pedoman Good
Corporate Governance (GCG) Perbankan Indonesia yang merupakan
pelengkap dan bagian tak terpisahkan dari pedoman umum Good Corporate
Governance (GCG). Pedoman ini dimaksudkan sebagai pedoman khusus bagi
perbankan untuk memastikan terciptanya bank dan sistem perbankan yang sehat.
Dalam melaksanakan kegiatan usahanya bank harus menganut prinsip-prinsip,
sebagai berikut :
1. Keterbukaan (Transparency)
Dalam melaksanakan kegiatan
usahanya bank harus menganut prinsip keterbukaan.
2. Akuntabilitas (Accountability)
Bank memiliki ukuran kinerja dari
semua jajaran bank berdasarkan ukuran-ukuran yang konsisten dengan corporate
values.
3. Tanggung Jawab (Responsibility)
Berpegang pada prudential
banking practices dan menjamin dilaksanakannya ketentuan yang berlaku
sebagai wujud tanggung jawab bank.
Independensi (Independency)
Dalam pengambilan keputusan harus
objektif dan bebas dari tekanan pihak manapun.
Kewajaran (Fairness)
Senantiasa memperhatikan
kepentingan seluruh stakeholders berdasarkan azas kesetaraan
dan kewajaran. (Pedoman Good Corporate Governance Perbankan
Indonesia KNKCG, 2004)
Menurut Mas Achmad Daniri dan
Angela Indirawati (2009:1) dalam artikelnya “Meningkatkan daya saing perusahaan
melalui Good Governance” bahwa didalam Pedoman Umum Corporate Governance yang
dikeluarkan oleh KNKG merekomendasikan agar dibuat sistem manajemen risiko dan
pengendalian internal. Manajemen risiko dimaksudkan agar perusahaan dapat
mengidentifikasikan risiko apa saja yang sebenarnya dihadapi dan dampak dari
risiko tersebut, baik dari setiap aktivitas operasional, maupun dari kondisi
internal dan eksternal yang terkait dengan operasional perusahaan. Dengan
mengetahui risiko yang ada, maka kita dapat lebih fokus dalam menyusun strategi
dan langkah yang jitu untuk mengatasi dan mengurangi kemungkinan risiko
tersebut terjadi.
Terciptanya Good
Corporate Governance (GCG) dalam organisasi merupakan salah satu
penjabaran dari terlaksananya mekanisme pengelolaan resiko organisasi melalui
sistem yang dirancang dalam rangka mengidentifikasi dan menganalisa resiko yang
mungkin terjadi, baik yang timbul karena faktor eksternal maupun faktor
internal yang berpotensi menghambat pencapaian tujuan
Good Corporate Governance (GCG) sebagaimana dimuat dalam Pedoman Good Corporate
Governance Perbankan Indonesia yang dikeluarkan oleh Komite Nasional
Kebijakan Corporate Governance, Januari 2004 adalah “suatu tata kelola yang
mengandung lima prinsip utama yaitu keterbukaan (transparency),
akuntabilitas (accountability), tanggung jawab (responsibility),
independensi (independency), dan kewajaran (fairness).”
Sedangkan berdasarkan Keputusan
Menteri Badan Usaha Milik Negara No.Kep 117 / M-MBU / 2002 tanggal 1 Agustus
2002, Corporate Governance adalah : “Suatu proses dan struktur
yang digunakan oleh organ BUMN untuk meningkatkan keberhasilan usaha dan
akuntabilitas perusahaan guna mewujudkan nilai pemegang saham dalam jangka
panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholder lainnya,
berlandaskan Peraturan Perundangan dan nilai-nilai etika.”
Menurut OECD (The Organization
for Economic Cooperation and Development) sebagaimana dikutip oleh Wahyudin
Zarkasyi (2008 : 35), Tata kelola perusahaan yang baik (good corporate
governance) merupakan struktur yang oleh stakeholders, pemegang
saham, komisaris dan manajer menyusun tujuan perusahaan dan sarana untuk
mencapai tujuan tersebut dan mengawasi kinerja. Hal senada dikemukakan
oleh Calbury Comitte (2003), good corporate governance adalah
“A set of rules that define a relationship between shareholders, manager,
creditor the government, employee and other internal and external stakeholder
in respect to their and responshibilities.”
Sedangkan menurut Tricker (2003),
tata kelola merupakan “ istilah yang muncul dari interaksi di antara manajemen,
pemegang saham, dan dewan direksi serta pihak terkait lainnya, akibat adanya
ketidakkonsistenan antara “apa” dan “apa yang seharusnya”, sehingga isu tata
kelola perusahaan muncul”.
Dari berbagai pengertian
tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian good corporate
governance (GCG) pada dasarnya merupakan suatu system (input, proses,
output) dan seperangkat peraturan yang mengatur hubungan antara berbagai pihak
yang berkepentingan (stakeholders) terutama dalam arti sempit hubungan
antara pemegang saham, dewan komisaris, dan dewan direksi demi tercapinya
tujuan perusahaan. GCG dimasukkan untuk mengatur hubungan-hubungan ini dan
mencegah terjadinya kesalahan-kesalahan signifikan dalam strategi perusahaan
dan untuk memastikan bahwa kesalahan-kesalahan yang terjadi dapat diperbaiki
dengan segera.
Pilar Pendukung Good
Corporate Governance (GCG)
Penerapan GCG
perlu didukung oleh tiga pilar yang saling berhubungan, yaitu negara dan
perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha sebagai pelaku pasar, dan
masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha. Prinsip dasar yang
harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah :
1) Negara dan perangkatnya
Menciptakan peraturan
perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan
transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum
secara konsisten (consistent law enforcement).
2) Dunia Usaha
Sebagai pelaku pasar menerapkan
GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.
3) Masyarakat
Sebagai pengguna produk dan jasa
dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan,
menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (sosial control)
secara obyektif dan bertanggung jawab.
Komentar
Pedoman Good Corporate Governance Perbankan Indonesia sebagai pelengkap dan bagian tak
terpisahkan dari Pedoman Umum GCG. Perbankan dalam pedoman ini meliputi bank
umum dan BPR yang dijalankan secara konvensional maupun syariah. Good
Corporate Governance (GCG)
sangat efektif dalam di dunia perbankan, karenamembangun kepercayaan masyarakat
dan dunia internasional sebagai syarat mutlak bagi dunia perbankan untuk
berkembang dengan baik dan sehat.
Referensi: